Langsung ke konten utama

Cerpen : Marah



Hari itu aku segera menuju kamar dan menutup pintu, merebahkan diri, mengistirahatkan wajahku yang lebam dan hatiku yang sakit.

Di tilam kamar perasaanku masih bercampur aduk, marah, kecewa, sakit hatidan aku sedang mengutuk diri

 ”Aku memang pengecut !!”

Di sekitar mataku memar, bibirku pecah. Mungkin hanya itu saja yang terlihat ketika aku bercermin di sebuah kaca spion mobil yang di parkir dipinggir jalan tadi.

Aku masih menatap langit-langit kamar bingung harus bagaimana. Aku bertanya pada diriku sendiri. Apa yang harus kulakuan?. Tapi tak ada jawaban. Yang aku tahu saat ini hanya bisa untuk diam merebah dan merasakan semua.

Aku masih kalut dan terus berfikir. Tapi sepertinya tidak ada jalan keluar untuk ini semua karena penentuannya harusnya adalah tadi,. Harusnya aku bisa menghindar, aku bisa menyangkalnya. Semakin memikirkan peristiwa tadi aku semakin marah dan marah, tubuhku bergetar, aku merasa semarah ini tak pernah seperti ini.

Aku gelisah, lalu mencoba bangkit dari ranjang menuju kamar mandi lalu sekali lagi melihat wajahku di cermin menatap dari pantulan cermin memar di mata, dan wajah yang benar-benar terkoyak.
Melihat jam dinding sudah jam dua malam.

Aku menuju meja makan, mengambil piring dan manaruh nasi, lauk dan sayur yang tersedia di meja. Aku mulai makan dan berusaha menaruh suapan tidak terkena bibir yang pecah, tapi tidak juga berhasil. Masakan pedas ini membuat perih di bibir dan semakin terasa nyeri, tapi anehnya yang kurasakan adalah semakin perih yang kurasakan aku semakin marah. Hingga rasanya aku menikamti perih itu, menikmati dendam.

Setelah santapan terakhir dan meneguk segelas air. Aku bangkit dari kursi dan mengambil  jaket hitam yang lusuh berdebuada sedikit  bercak darah

Kukenakan jaket itu lalu aku masuk kedalam kamar orang tuaku yang kosong. Bapak dan Ibuku sedang keluar kota. Aku menggeledah lemari. Kutemukan apa yang aku cari, yaitu sebuah sangkur.

Aku memutuskan untuk membuka pintu dan keluar dari rumah, berjalan menuju tempat kejadian sore tadi, tanganku terkepal. Otot rahangku menegang. Aku berjalan dengan cepat menuju sebuah warung di terminal kota.

Setengah jam perjalanan aku sampai kira-kira sepuluh meter dari tempat yang aku tuju.

Aku menatap dari kejahuan, dan ternyata warung itu masih buka.

Di depan warung itu ada bebeberapa orang yang sedang nongkrong. Mereka tertawa-tawa sambil mengangkat gelas yang di berikan bergiliran dari hasil tuangan minuman dari teko plastik.

Aku berjalan pelan menyisir  teras pertokoan ke arah warung. Rasanya kemarahanku sudah pada ujung rambut.

Aku berjalan memasuki warung melewati orang orang yang sedang minum itu. Aroma di sekitar warung itu tercium seperti cairan pembersih luka yang terasa pekat di hidungku.

Aku  masuk ke dalam warung. Mataku menyapu ruangan. Hanya ada beberapa minuman ringan dia atas meja, tak ada orang.

Aku lalu menuju dapur, namun yang aku cari tidak ada. Akhirnya aku menuju pintu belakang warung. Menatap seorang laki-laki setengah baya sedang asyik mencuci piring.

Dan tiba-tiba darahku berdesir, otot rahangku kembali menegang, nafasku memburu, aku mencoba menarik nafas dalam-dalam sambil menatap seorang laki-laki setengah baya sedang asyik mencuci piring di belakang warung.

Ini yang aku cari, aku berkata dengan geram di belakangnya

“Pak aku bukan maling !!“,

Lelaki separuh baya itu tekejut membalikkan tubuhnya, dan dengan sekuat tenaga aku menyambutnya dengan sangkur lalu menancapkan tepat di perutnya.

Aku segera berlari kebelakang warung.

Para peminum itu tak memperhatikanku.

Aku berlari ke arah  terminal.

Di terminal tampak bus keluar, dengan panikaku menghadang bus, lalu aku naik melalui pintu depan.

Di atas bus aku melihat ke kursi paling belakang mencari tempat duduk, nafasku masih terengah. Tiba-tiba di deretan nomor dua dari kursi depan ada seorang wanita muda yang mempersilahkanku duduk di sebelahnyadi sisi dekat kaca jendela.

Dari atas bus yang sedang berjalan itu aku menatap warung tadi tampak dari kejauhan. Suasana belum berubah. Rupanya orang-orang yang minum di depan warung itu tidak menyadari yang sudah  kulakukan.
Tiba-tiba wanita di sebelahku itu memecahkan lamunanku.

Hey kok sendirian, mau kemana?” Wanita itu bertanya dengan senyuman di wajahnya.

Aku hanya bisa diam tak bisa menjawab, karena memang tak punya jawaban, karena memang tidak punya tujuan.

Wanita muda itu tersenyum, dan bertanya lagi.

“Kamu kelas berapa?

 Tapi untuk pertanyaan ini aku punya jawabannya.

Kelas enam  kak ".

Komentar

  1. cerita yg luar biasa...tak kirain srius...hehehe.ship..ship...mantab.

    BalasHapus
  2. menarik sekali critanya
    terus berkarya
    salam sukses selalu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bawa Aku ke Rumah Sakit

"Yan Yanti tolong ambilkan Bapak teh manis ya", "Inggih Pak",  bunyi suara dari dalam rumah Seorang wanita yang tidak muda tapi juga terlalu tua untuk di sebut separuh baya datang menuju teras menghampiri sebuah meja dan kursi di teras rumah, tempat seorang laki-laki, yang terlihat dari guratan wajahnya sekitar berusia kepala enam lagi duduk. "Bapak tadi malam tidur di mana Pak" Yanti bertanya dengan menyelidik tapi dengan nada hormat, "Bapak di mushola habis baca Qur'an terus ketiduran sekalian sholat shubuh.. Yanti masuk kembali ke dalam rumah,menuju sebuah kamar yang merupakan kamar tidur utama tempat majikannya dan mendiang istrinya. Kamar ini tampak bersih dan rapi. yang aneh adalah kamar ini selalu begini tampak sama,letak bantal,guling dan lipatan selimutnya. hampir sebulan ini kamar tidur ini selalu seperti ini ,tak ada perubahan,letak buku-buku di samping meja di sebelah ranjang  masih sama.. "Yan..yan..yan..!" Teri

Sebuah Cerpen : Dua Puluh Tahun Yang Lalu

Aku rapikan rambut sebahuku yang tertiup angin. Menyusuri tepian jalan raya yang lengang, hanya ada beberapa bus kota hilir mudik dengan penumpang yang tak seberapa. Orang-orang jarang sekali yang berjalan di trotoar ini. Jalur sepeda angin juga sepi. Mobil-mobil listrik yang lagi trend dengan cat berwarna warni , biasanya lalu lalang di pagi dan sore hari, siang ini tidak tampak. Jam kerja dan dan jam sekolah memang waktu kurang pas untuk sekedar jalan-jalan Sebelum berangkat tadi aku membenahi kemeja yang lepas kancingnya, dan sengaja aku jahit pagi tadi. Dari kaleng bekas permen tempat jarum dan benang punya istriku, aku menemukan kancing baju, setidaknya bisa kembali pakai kemeja ini walau kancingnya berbeda warna. Aku menghampiri halte bus yang terlihat sepi. Berdiri sebentar dan menghampiri kotak persegi berkaki, aku membuka tutup atasnya dan langsung mengambil Koran pagi, dan membaca headline berita hari ini. Tidak ada yang menarik hanya sebuah berita tentang mered

Ruang Maya Tapi Bukanlah Ruang Semu..

blog,blog,blog,blogger,blog,blog,blog,blogger.... Ruang baru ini telah beberapa bulan.. Interaksi ini terjadi,berbagai karakter,berbagai harapan,berbagai kisah dan berbagai hal dan perihal Sebenarnya blog secara subjektif bukan hanya menjadi sebuah blog dan ternyata bukan hanya tempat untuk sekedar menulis dan membaca, tetapi sebuah ruang berfikir,ruang merenung dan ruang untuk bersosialisasi dan berbagi. blog juga tempat untuk tetap bersentuhan dengan saudara,kawan atau sekedar kenalan. Untuk beberapa orang yang saya kenal, blog malah telah menjadi rumah kedua, dalam perspektif subjektif saya, blog menjadi alat untuk bersentuhan dengan orang-orang yang memang sebelumnya saya kenal. ada interaksi primer sebelumnya,dan tak terputus hanya pada sebuah blog. aktifitas di blog telah mengantar saya pada lingkungan baru yang produktif,inspiratif dan aspiratif. Saya bukan bloger yang suka bertamu di banyak blog atau istilanya blog walking. dan kalaupun saya bertamu itu karena ingin