Hari itu aku segera menuju kamar dan menutup pintu, merebahkan diri, mengistirahatkan wajahku yang lebam dan hatiku yang sakit.
Di tilam kamar perasaanku masih bercampur aduk, marah, kecewa, sakit hati, dan aku
sedang mengutuk diri
”Aku memang pengecut !!”
Di sekitar
mataku memar, bibirku
pecah. Mungkin hanya itu saja yang
terlihat ketika aku bercermin di
sebuah kaca spion mobil yang di parkir dipinggir jalan tadi.
Aku masih
menatap langit-langit kamar bingung harus bagaimana. Aku bertanya pada diriku sendiri. Apa yang harus
kulakuan?. Tapi tak ada jawaban. Yang aku tahu saat ini hanya bisa untuk
diam merebah dan merasakan semua.
Aku
masih kalut dan terus berfikir. Tapi sepertinya
tidak
ada jalan keluar untuk ini semua karena
penentuannya harusnya
adalah tadi,. Harusnya aku bisa menghindar, aku bisa menyangkalnya. Semakin memikirkan peristiwa tadi aku
semakin marah dan marah, tubuhku bergetar, aku merasa semarah ini tak pernah seperti ini.
Aku
gelisah, lalu mencoba bangkit dari ranjang menuju kamar
mandi lalu sekali lagi melihat
wajahku di cermin menatap dari
pantulan cermin memar di mata, dan wajah yang benar-benar terkoyak.
Melihat
jam dinding sudah jam dua malam.
Aku
menuju
meja makan, mengambil piring dan manaruh nasi, lauk dan
sayur yang tersedia di meja. Aku
mulai makan dan berusaha menaruh suapan tidak
terkena bibir yang pecah, tapi tidak juga berhasil. Masakan pedas ini membuat perih
di bibir dan semakin
terasa nyeri, tapi anehnya
yang kurasakan adalah semakin
perih yang kurasakan aku semakin
marah. Hingga rasanya aku menikamti perih itu, menikmati dendam.
Setelah santapan
terakhir dan meneguk segelas air. Aku
bangkit dari kursi dan mengambil jaket hitam yang lusuh berdebu, ada sedikit bercak darah.
Aku memutuskan untuk membuka
pintu dan keluar dari rumah, berjalan menuju tempat kejadian sore tadi,
tanganku terkepal. Otot rahangku menegang. Aku berjalan dengan cepat menuju sebuah warung di
terminal kota.
Setengah jam
perjalanan aku sampai kira-kira sepuluh meter
dari tempat yang aku tuju.
Aku
menatap dari kejahuan, dan ternyata warung
itu masih buka.
Di
depan warung itu ada bebeberapa orang yang sedang nongkrong. Mereka tertawa-tawa sambil
mengangkat gelas yang di berikan bergiliran dari hasil tuangan minuman dari teko plastik.
Aku berjalan
pelan menyisir teras pertokoan ke arah
warung. Rasanya kemarahanku sudah pada ujung
rambut.
Aku
berjalan memasuki warung melewati orang orang yang sedang minum itu. Aroma di sekitar warung itu tercium seperti
cairan pembersih luka yang terasa pekat
di hidungku.
Aku masuk ke dalam warung. Mataku menyapu
ruangan. Hanya ada beberapa minuman ringan dia atas meja, tak ada orang.
Aku lalu menuju dapur, namun yang aku cari tidak
ada. Akhirnya aku menuju pintu belakang warung. Menatap seorang laki-laki
setengah baya sedang asyik mencuci piring.
Dan
tiba-tiba
darahku berdesir, otot rahangku kembali menegang, nafasku memburu, aku mencoba
menarik nafas dalam-dalam sambil
menatap seorang laki-laki setengah baya sedang asyik mencuci piring di belakang
warung.
Ini
yang aku cari, aku berkata dengan geram di belakangnya
“Pak aku bukan
maling !!“,
Lelaki
separuh baya itu tekejut membalikkan tubuhnya, dan dengan sekuat tenaga aku
menyambutnya dengan sangkur
lalu menancapkan tepat di
perutnya.
Aku
segera berlari kebelakang warung.
Para
peminum itu tak memperhatikanku.
Aku
berlari ke arah terminal.
Di
terminal tampak bus keluar, dengan panik, aku menghadang bus, lalu aku naik melalui pintu depan.
Di atas bus aku
melihat ke kursi paling belakang mencari tempat duduk, nafasku masih terengah. Tiba-tiba di deretan nomor dua dari kursi depan ada seorang
wanita muda yang
mempersilahkanku duduk di sebelahnya, di
sisi dekat kaca jendela.
Dari atas bus yang sedang berjalan itu
aku menatap warung tadi tampak dari kejauhan. Suasana belum berubah. Rupanya orang-orang yang minum
di depan warung itu tidak menyadari
yang sudah kulakukan.
Tiba-tiba
wanita di sebelahku itu memecahkan lamunanku.
“Hey kok sendirian, mau
kemana?” Wanita itu bertanya dengan senyuman di wajahnya.
Aku
hanya bisa diam tak bisa menjawab, karena memang
tak punya jawaban, karena memang
tidak punya tujuan.
Wanita
muda itu tersenyum, dan bertanya lagi.
“Kamu kelas berapa?”
Tapi untuk pertanyaan ini aku
punya jawabannya.
”Kelas enam kak
".
cerita yg luar biasa...tak kirain srius...hehehe.ship..ship...mantab.
BalasHapusmenarik sekali critanya
BalasHapusterus berkarya
salam sukses selalu