Langsung ke konten utama

Sebuah Cerpen : Dua Puluh Tahun Yang Lalu


Aku rapikan rambut sebahuku yang tertiup angin.
Menyusuri tepian jalan raya yang lengang, hanya ada beberapa bus kota hilir mudik dengan penumpang yang tak seberapa. Orang-orang jarang sekali yang berjalan di trotoar ini. Jalur sepeda angin juga sepi. Mobil-mobil listrik yang lagi trend dengan cat berwarna warni , biasanya lalu lalang di pagi dan sore hari, siang ini tidak tampak. Jam kerja dan dan jam sekolah memang waktu kurang pas untuk sekedar jalan-jalan

Sebelum berangkat tadi aku membenahi kemeja yang lepas kancingnya, dan sengaja aku jahit pagi tadi. Dari kaleng bekas permen tempat jarum dan benang punya istriku, aku menemukan kancing baju, setidaknya bisa kembali pakai kemeja ini walau kancingnya berbeda warna.

Aku menghampiri halte bus yang terlihat sepi. Berdiri sebentar dan menghampiri kotak persegi berkaki, aku membuka tutup atasnya dan langsung mengambil Koran pagi, dan membaca headline berita hari ini. Tidak ada yang menarik hanya sebuah berita tentang meredanya konflik antara pekerja Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir dengan pemerintah, PLTN yang sudah cukup membuat para pekerja kawatir akan nasibnya, karena hampir satu tahun transisi dan penghentian produksi membuat mereka terombang ambing. Setahun tidak bekerja walaupun mendapat gaji penuh seperti saat mereka bekerja, tapi kehilangan aktualisasi potensi diri adalah sesuatu yang tidak menyenangkan.

Konflik ini berakhir dengan mutasi tenaga kerja menjadi bagian dari pembangkit listrik yang baru  yang tersebar hampir di seluruh propinsi. Pemerintah memberikan pilihan kepada pekerja untuk di tempatkan di mana saja di Pembangkit listrik tenaga panas bumi, atau pembangkit listrik tenaga angin di beberapa daerah di Jawa dan di luar Jawa. Kertas Koran aku lipat lagi sesuai semula aku taruh di kotak lagi.

Dari seberang jalan aku melihat seorang laki-laki melambaikan tangan kepadaku, aku memincingkan mata ingin melihatnya lebih jelas. Laki-laki itu menghampiriku belum beberapa langkah ia menyapa “ mas, kok jalan kaki? “. Ia mengatakan dalam bahasa Jawa dialek khas asalku, ia mengulurkan tangan dan aku sambut bersalaman, aku tersenyum

“ Aku kerja di sana mas sekarang, di rumah makan di depan". Masih dalam bahasa ibu ,

“ Oh ya ,sudah lama? ”

“ Dua bulan, sudah gak betah kerja di depan computer mas, aku milih kerja di rumah makan biar bisa masak sesuai hobbyku," Aku hanya tersenyum. Ia menggunakan bahasa sederhana mengganti istilah kuno Brilltroy dengan kata computer. Mungkin karena ia melihat usia dan gaya bahasaku. Aku berpamitan untuk meneruskan jalan menuju pasar. Ia tersenyum,  menyalamiku, dan pergi dengan riang.

Jalan raya ini cukup sepi bahkan kawanku dari seberang jalan dengan mudah menyeberang jalan dan dapat mengenaliku dengan jelas. Trotar terlihat hitam berkilat, memagari warna merah bara aspal jalan raya dengan marka jalan berwarna kuning cerah. Di beberapa sudut jalan ada cctv yang di pasang di tempat-tempat strategis, di perempatan jalan, taman-taman, hingga di pintu jembatan penyeberangan yang jarang di pakai.

Kembali melangkah menyusuri trotoar. Belum siang hari, namun panasnya mentari menyinar tak terhalang awan. Peluh mulai muncul di pori-pori. Niat awal membeli pupuk kompos dan jalan-jalan rupanya harus di akhiri, dengan cepat.

Hawa panas kemarau mulai meresahkan. Aku mulai rindu dengan teras, dan halaman rumah, rindu pot-pot bunga dan pohon manggga besar di depan rumah. Ingin segera kembali menyulut dan menghisap rokok di kursi bambu dekat pohon mangga. 

Aturan kota tentang larangan merokok sangat mengganguku, tempat-tempat tertentu yang menjadi smooking area rata-rata di kelola oleh perseorangan atau swasta berbentuk warung dan kedai . Sedangkan larangan keras untuk tidak merokok di tempat umum sebetulnya logis dan cukup bijak, namun keberadaan smoking area ini yang jadi soal.

Langkah mulai aku percepat menuju tujuan, melewati pos lalu lintas, tempat para pasukan berkaos kerah berwarna putih dan celana pendek hitam, yang mengatur lalu lintas jalan raya. Belok ke kanan menuju pasar dan mendekati sebuah outlet dimana terlihat mencolok, ada tumbuhan-tumbuhan hijau dalam pot-pot hitam berjajar rapi di terasnya. Beberapa tumbuhan tampak tidak asing ada padi, jagung dan beberapa tumbuhan buah yang berada dalam pot besar. Pintu kaca outlet aku dorong dan masuk kedalam ruang persegi dengan etalase dan bermacam alat-alat untuk menanam dalam ukuran kecil ada disana
, cangkul kecil, sekop kecil dan beberapa alat yang belum kukenal kegunaannya.

Seorang pria setengah baya tersenyum dan menanyakan kebutuhanku. Dari jawabanku,  ia mengambil sebungkus kompos daur ulang. Tanpa menunggu lama aku ambil, dan memberinya beberapa kertas premon tipe c (singkatan dari premoney, kertas pembayaran tipe c untuk kebutuhan non pokok). Dia menuliskan pada kertas itu beberapa angka. Ia melihat ke arahku dan menyodorkan kertas itu kembali, lalu menyodorkan boldpoint untuk tanda tangan.


Sebenarnya paska bertemu kawan di pinggir jalan tadi, perasaanku tiba-tiba jadi tak nyaman. Seperti ada perubahan mood tanpa mengerti stimulasi apa yang memicu. Aku mulai berjalan cepat membawa kantong kertas berisi 2 kg kompos itu menuju mulut pasar tepat beberapa meter dari pos lalu lintas. Terus berjalan menuju jalan tadi yang aku lewati. Rumahku tidak jauh dari pasar hanya sekitar 1 km. Perjalanan pulang benar-benar aku percepat. Aku mulai khawatir, ada apa dengan detak jantung yang tak menentu, aku terbayang wajah istri dan anakku.

Beberapa langkah lagi sampai mulut gang. Tapi tiba-tiba ada getar di dada, tiba-tiba cemas, aku tak tahu apa dan mengapa, nalarku coba untuk meraba, tapi tetap saja tak ada ujung jawaban. Langkahku benar-benar lambat, tiba-tiba aku teringat istriku. Aku mulai kalut, takut ada sesuatu di rumah. Langkah kakI ku ayun lebih cepat. Hingga di mulut gang rumahku tak terlihat ada apa-apa. Aku mulai masuk teras ke halaman dan menaruh kantong kompos di dekat pohon manga. Aku lepas alas kakiku dan membuka pintu. Samar-samar ada suara dan tiba-tiba teriakan “ jangan bergerak!! “. Bersamaan dengan ujung besi yang terasa dingin di leherku. Beberapa orang keluar dari ruangan. Ada yang dari kamar dan ada yang dari arah dapur. Semua delaan orang, memakai baju dominan warna hitam dengan rambut panjang sebahu sepertiku.


Istriku dibawa ke arahku dia berkaca-kaca. Aku berkata dalam bahasa isyarat “ maafkan bapak, harusnya ibu tahu,kalau saat ini akan datan. Ibu sabar di rumah ya. Bapak bakal mengirim surat untuk ibu ”. Aku mengakhiri pembicaraan dengan gerakan tanganku, ketika tanganku mulai diborgol.

Salah satu orang itu memberikan selembar kertas dan berkata “. Suami anda kami tahan dia adalah pelaku pemboman 2O tahun lalu di Bali. Istriku yang tuna rungu itu tak menghiraukan dan menyambut kertas serta membaca surat tertanggal 12 juli 2021 itu dengan pelan dan tiba-tiba jatuh pingsan.

Komentar

  1. sangar om nenet! mirip ceritanya anggota KKK di novel yang saya analisa!

    BalasHapus
  2. memang kamu baca semua ..hehehe:D

    BalasHapus
  3. Penggalan penggalan romantisme akan kerinduan suasana rumah, ketidak nyamanan pada aturan kota, dan kekhawatiran yang tiba tiba..

    Apik Net, sayange tulisane mengecil.

    BalasHapus
  4. iya..mesti kacau di penataan ,,hehehe tak benarkan dulu..bro

    BalasHapus
  5. hem.. cukup detailnya.
    sip sip..

    BalasHapus
  6. wah lumayan nih bisa dibuat mini film.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pahlawan Tanpa Tanda Tanya...

Sebenarnya ketika melihat tema yang diberikan,sedikit bingung,karena harus menuliskan tentang pahlawan, aku melihat kata ini terlalu agung untuk di berikan kepada  seorang individu tertentu. P ahlawan yang kita ketahui dari pelajaran sekolah  berarti  sosok individu sangat hebat,dan pemberani. Dalam cerita cerita perjuangan mereka adalah protagonis dan para penjajah   adalah antagonisnya.. Ketika akan menuliskan kata pahlawan dalam benak  mulai membayangkan,seorang laki-laki di atas kuda putih yang berjingkat,orang itu memakai sorban putih dan memegang keris.    Dari banyaknya pejuang yang terkenal dan hidup di era penjajahan  seperti I Ketut Jelantik,Imam Bonjol,Diponegoro dan lain-lain, mereka sangat di kenal dan bahkan gambar mereka di tempelkan di dinding-dinding sekolahan.  Awetnya kehadiran bangsa Belanda selama 350 tahun di Indonesia adalah sebuah bukti bahwa penjajahan yang hanya dirasakan oleh beberapa golongan saja. Orang-orang yang melawan Belanda pada saat itu,

Ruang Maya Tapi Bukanlah Ruang Semu..

blog,blog,blog,blogger,blog,blog,blog,blogger.... Ruang baru ini telah beberapa bulan.. Interaksi ini terjadi,berbagai karakter,berbagai harapan,berbagai kisah dan berbagai hal dan perihal Sebenarnya blog secara subjektif bukan hanya menjadi sebuah blog dan ternyata bukan hanya tempat untuk sekedar menulis dan membaca, tetapi sebuah ruang berfikir,ruang merenung dan ruang untuk bersosialisasi dan berbagi. blog juga tempat untuk tetap bersentuhan dengan saudara,kawan atau sekedar kenalan. Untuk beberapa orang yang saya kenal, blog malah telah menjadi rumah kedua, dalam perspektif subjektif saya, blog menjadi alat untuk bersentuhan dengan orang-orang yang memang sebelumnya saya kenal. ada interaksi primer sebelumnya,dan tak terputus hanya pada sebuah blog. aktifitas di blog telah mengantar saya pada lingkungan baru yang produktif,inspiratif dan aspiratif. Saya bukan bloger yang suka bertamu di banyak blog atau istilanya blog walking. dan kalaupun saya bertamu itu karena ingin

Meremehkan Waktu

Pagi tadi........ Terbangun entah jam berapa yang jelas adzan subuh belum dimulai,hanya liukan nada-nada tarhim yang terdengar, melihat layar monitor yang mati dan sedikit menggerakkan mouse agar nyala monitor hidup lagi, coba bangun tapi berat sekali,ya kemudian kuputuskan merebah lagi, dan menutup mata dan berencana terbangun sebentar lagi........... Tiba-tiba mata terbuka byarrrrr hari sudah terang,bangun dengan sedikit agak histeris melihat jam dinding sudah jam 6 lewat, waktu sholat shubuh sudah berlalu,hmmmmm. akhirnya sholat dengan di sisipi kata "qodloan ", ya ...gara-gara tak berfikir panjang, membiarkan mata menutup dan menyakinkan diri akan tebangun  sebentar lagi,, dan ini berakibat gagal melakukan sesuatu pada waktunya,tapi cukup melegakan  tenyata ada alternatif... ............................ Aku selalu percaya bahwa Sholat adalah kegiatan yang di berikan kepada manusia yang hasilnya untuk manusia itu sendiri. karena Allah akan selalu Maha Besar tanpa ma